Bagaimana Seharusnya Muslim Menyikapi Tahun Baru?

Dalih toleransi sering dijadikan alasan sebagian kaum Muslimin untuk turut berpartisipasi dalam perayaan hari-hari besar agama lain. Padahal, hari raya adalah masalah agama dan akidah, bukan masalah keduniaan, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu pada hari Idul Fitri, إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَهَذَا عِيْدُنَا ”Setiap kaum memiliki hari raya, dan ini (Idul Fitri) adalah hari raya kita.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dengan demikian, turut merayakannya berarti ikut serta dalam ritual ibadah mereka. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, dan dinyatakan hasan shahih oleh Al-Albani). MENYAMBUT TAHUN BARU Entah direncanakan atau sekadar latah, pada malam itu orang-orang seakan secara serempak melonggarkan moralitas dan kesusilaan. Bunyi terompet diselingi gelak tawa (bahkan dengan minuman keras) bersahut-sahutan di setiap tempat. Sepeda motor mengepulkan asap hingga mirip ‘dapur berjalan’ meraung-raung. Mobil-mobil membunyikan klakson sepanjang jalan. Cafe, diskotik dan tempat-tempat hiburan malam sesak padat. Orang-orang ‘tumpah’ di jalanan dengan satu tujuan: merayakan Tahun Baru. Sebenarnya tahun Masehi adalah tahun yang baru bagi bangsa Indonesia, karena ia tidak memiliki akar kultur dan tradisi dalam sejarah bangsa ini. Ada beberapa faktor yang dapat mendukung anggapan ini. Pertama, latarbelakang sosio-historis. Berlakunya tahun Masehi tidak bisa dipisahkan dari pengaruh teologi (keagamaan) Kristen, yang dianut oleh masyarakat Eropa. Kalender ini baru diberlakukan di Indonesia pada tahun 1910 ketika berlakunya Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap atas seluruh rakyat Hindia Belanda. Kedua, karena latarbelakang teologis. Sebagaimana diketahui, kalender Gregorian diciptakan sebagai ganti kalender Julian yang dinilai kurang akurat, karena awal musim semi semakin maju, akibatnya, perayaan Paskah yang sudah disepakati sejak Konsili Nicea I pada tahun 325, tidak tepat lagi. Kalender Hijriyah, disebut sebagai kalender Islam (at-taqwim al-hijri), karena ditetapkan sejak hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia ditetapkan sebagai tahun Islam setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat atas inisiatif Khalifah kedua, Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu pada tahun 638 M (17 H). Hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditetapkan sebagai awal kalender Islam, menyisihkan dua pendapat lainnya, yaitu hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hari wafat beliau. Sejak kedatangan Islam hingga awal abad ke-20, kalender Hijriyah berlaku di nusantara. Bahkan raja Karangasem, Ratu Agung Ngurah yang beragama Hindu, dalam surat-suratnya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Otto van Rees yang beragama Nasrani, masih menggunakan tarikh 1313 Hijriyah (1894 M). Jadi secara historis dan kultural bangsa kita pun, tahun baru Masehi tidak perlu dirayakan. Terlebih lagi jika ditinjau dari sisi akidah al wala’ wal bara’ (loyalitas dan pelepasan diri) dalam agama Islam. Meski demikian, hal ini tidak bisa secara otomatis dijadikan sebagai justifikasi pentingnya merayakan tahun baru Hijriyah yang juga tinggal menghitung hari. Mengingat sejauh ini tidak ditemukan teks agama yang menganjurkan perayaan tahun baru Hijriyah. ULAMA MENYIKAPI HARI RAYA NON-MUSLIM (NATAL/TAHUN BARU) Fatwa Syaikh Muhammad Ibn Shalih al Utsaimin—rahimahullah Pertanyaan: Apa hukumnya mengucapkan selamat kepada orang kafir pada perayaan hari besar keagamaan mereka? (Misal: Merry Christmas, Selamat hari Natal dan Tahun Baru dst, red.). Dan bagaimana kita menyikapi mereka jika mereka mengucapkan selamat Natal kepada kita. Dan apakah dibolehkan pergi ke tempat-tempat di mana mereka merayakannya? Dan apakah seorang Muslim berdosa jika ia melakukan perbuatan tersebut tanpa maksud apapun, akan tetapi ia melakukannya hanya karena menampakkan sikap tenggang rasa, atau karena malu atau karena terjepit dalam situasi yang canggung, atau pun karena alasan lainnya. Dan apakah dibolehkan menyerupai mereka dalam hal ini? Jawaban: Mengucapkan selamat kepada orang kafir pada perayaan Natal atau hari besar keagamaan lainnya dilarang menurut ijma’ (kesepakatan ulama). Sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qoyyim—rahimahullah—dalam bukunya Ahkamu Ahlidz-dzimmah, beliau berkata, “Mengucapkan selamat terhadap syiar-syiar kafir yang menjadi ciri khasnya adalah haram, menurut kesepakatan. Seperti memberi ucapan selamat kepada mereka pada hari-hari rayanya atau puasanya, sehingga seseorang berkata, “Selamat hari raya”, atau ia mengharapkan agar mereka merayakan hari rayanya atau hal lainnya. Maka dalam hal ini, bisa jadi orang yang mengatakannya terlepas dari jatuh ke dalam kekafiran, namun (sikap yang seperti itu) termasuk ke dalam hal-hal yang diharamkan. Ibarat dia mengucapkan selamat atas sujudnya mereka pada salib. Bahkan ucapan selamat terhadap hari raya mereka dosanya lebih besar di sisi Allah dan jauh lebih dibenci dari pada memberi selamat kepada mereka karena meminum alkohol dan membunuh seseorang, berzina dan perkara-perkara yang sejenisnya. Dan banyak orang yang tidak paham agama terjatuh ke dalam perkara ini. Dan ia tidak mengetahui keburukan perbuatannya. Maka siapa yang memberi selamat kepada seseorang yang melakukan perbuatan dosa, atau bid’ah, atau kekafiran, berarti ia telah membuka dirinya kepada kemurkaan Allah.” Akhir dari perkataan Syaikh (Ibnul Qoyyim—rahimahullah). Haramnya memberi selamat kepada orang kafir pada hari raya keagamaan mereka sebagaimana perkataan Ibnul Qoyyim adalah karena di dalamnya terdapat persetujuan atas kekafiran mereka, dan menunjukkan ridha dengannya. Meskipun pada kenyataannya seseorang tidak ridha dengan kekafiran, namun tetap tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk meridhai syiar atau perayaan mereka, atau mengajak yang lain untuk memberi selamat kepada mereka. Karena Allah tidak meridhai hal tersebut, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, artinya, “Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” [QS. Az Zumar 39: 7]. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan bagimu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” [QS. Al Maaidah: 3] Maka memberi selamat kepada mereka dengan ini hukumnya haram, sama saja apakah terhadap mereka (orang-orang kafir) yang terlibat bisnis dengan seseorang (Muslim) atau tidak. Jadi, jika mereka memberi selamat kepada kita dengan ucapan selamat hari raya mereka, kita dilarang menjawabnya, karena itu bukan hari raya kita, dan hari raya mereka tidaklah diridhai Allah, karena hal itu merupakan salah satu yang diada-adakan (bid’ah) di dalam agama mereka, atau hal itu ada syariatnya tapi telah dihapuskan oleh agama Islam yang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah diutus dengannya untuk semua makhluk. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Islam, artinya, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” [QS. Ali ‘Imran: 85]. Dan bagi seorang Muslim, memenuhi undangan mereka untuk menghadiri hari rayanya hukumnya haram. Karena hal ini lebih buruk dari pada hanya sekadar memberi selamat kepada mereka, dimana di dalamnya akan menyebabkannya turut berpartisipasi dengan mereka. Juga diharamkan bagi seorang Muslim untuk menyerupai atau meniru-niru orang kafir dalam perayaan mereka dengan mengadakan pesta, atau bertukar hadiah, atau membagi-bagikan permen atau makanan, atau libur kerja, atau yang semisalnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia adalah bagian dari mereka”. [wahdah.or.id] Sumber: http://wahdahmakassar.org/bagaimana-seharusnya-muslim-menyikapi-tahun-baru/#ixzz2pY5p8vJH Follow us: @wimakassar on Twitter | wimakassar on Facebook

Alhamdulillah, STIBA Makassar Terakreditasi dan Berhak Mengeluarkan Ijazah

Ketua Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) Prof. Dr. H. Mansyur Ramli, M.Si. berkunjung ke Kampus STIBA Makassar pada Hari Senin 18 Jumadal Akhirah 1434 / 29 April 2013 untuk bersilaturrahmi dan meninjau lokasi/fasilitas kampus sekaligus menjelaskan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 160/E/AK/2013 tanggal 1 Maret 2013 tentang Izin Penyelenggaraan dan Akreditasi Program Studi. Diantara poin-poin penting yang disebutkan dalam surat edaran tersebut adalah: 1. Perguruan tinggi yang telah memperoleh izin penyelenggaraan program studi sebelum tanggal 10 Agustus 2012 namun belum terakreditasi DINYATAKAN TERAKREDITASI "C". 2. Status akreditasi C tersebut berlaku sejak tanggal 1 Maret 2013 sampai dengan 6 bulan setelahnya. 3. Dalam rentang waktu 6 bulan tersebut perguruan tinggi wajib mengajukan permohonan AKREDITASI ULANG prodi ke BAN-PT. Dengan demikian -sebagaimana ditegaskan beberapa kali oleh Prof. Mansyur Ramli dalam pertemuan hari itu- STIBA Makassar sudah berhak menerbitkan ijazah S-1 pada semester ini. Walhamdulillahi-lladzi bini'matihi tatimmus-shalihat..!

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan