7 Februari 2009 oleh akhialbani
Wanita pemalu seakan telah menjadi ‘makhluk langka’. Mengentalnya budaya tabarruj dan buka aurat di kalangan kaum wanita masa kini yang begitu merebak adalah cermin luruhnya rasa malu. Fenomena ikhtilat yang membuat iman tersayat, budaya pacaran dan pergaulan bebas yang membuat ‘iffah (kesucian diri) terhempas, juga adegan-adegan porno yang dipertontonkan secara sembrono dan sungguh memalukan, merupakan potret buram runtuhnya sifat malu (al-haya’) dalam sanubari manusia masa kini. Dan, ini sungguh memilukan hati!!
Bila Simpul Iman Memudar
Rasa malu kepada Allah untuk melakukan kemaksiatan merupakan perangkat kejiwaan yang amat mulia. Berbahagialah orang yang hatinya masih selalu terhiasi secara anggun oleh sifat malu, dan celakalah orang yang rasa malu telah hengkang dari dalam hatinya.
Allah Ta‘ala berfirman, “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan ‘pakaian takwa’ itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat” (Al-A‘raf [7] : 26). Dalam menafsirkan ayat ini, Ma‘bad Al-Juhanniy mengatakan, “Yang dimaksud dengan ‘pakaian takwa’ adalah rasa malu.” Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Malu adalah takwa yang paling ringan. Tidaklah seorang hamba itu takut sampai dia malu. Dan tidaklah orang-orang yang bertakwa itu masuk ke dalam takwa melainkan dari pintu malu.”
Rasulullah n juga menegaskan bahwa rasa malu adalah bagian dari keimanan. Keduanya tak mungkin berpisah selamanya. Karena rasa malu bisa mengukuhkan keimanan, dan keimanan akan bisa tegak jika ditopang oleh sifat al-haya’. Beliau bersabda, “Malu dan iman itu adalah dua sejoli. Jika salah satunya dicabut, maka yang satunya pun akan tercabut.” (HR. Al-Hakim, dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Shahihul Jami‘ish Shaghir, hadits no. 3195)
Ath-Thibiy mengatakan, “Seakan-akan malu dan iman adalah dua bayi yang menyusu pada satu payudara, keduanya berjanji untuk tidak saling berpisah.” Ibnu ‘Abbas bertutur, “Malu dan iman terjalin dalam satu ikatan yang erat. Jika salah satunya dicabut dari seorang hamba, maka yang satunya pun akan mengikutinya.” Nabi Sulaiman berkata, “Malu adalah simpul iman. Jika simpul terlepas, maka semua yang terikat akan berjatuhan.”
Lalu, komentar apa yang kiranya akan meluncur dari bibir kita, tatkala menyaksikan sebagian saudari-saudari muslimah kita yang sampai saat ini masih suka mengumbar auratnya di depan khalayak? Bagian-bagian tubuh yang indah yang seharusnya dijaga keindahannya dalam balutan busana jilbab itu, tapi malah dipamerkan secara memalukan. Apa pula yang akan kita katakan terhadap kaum wanita yang tanpa malunya menjalin hubungan mesum dengan laki-laki, bahkan itu dipertontonkan secara vulgar? Malu dan iman itu terjalin dalam satu simpul yang erat. Jika salah satunya luruh, maka yang lainnya pun ikut luruh. Sungguh, rasa malu telah hilang dari hati mereka. Dan mereka pun kehilangan iman?
Ibnul A‘rabi menyitir sebait syair orang-orang Arab :
Kulihat orang yang tak punya malu
dan tak beramanah telanjang di tengah keramaian
Betapa Anggunnya Wanita Pemalu
Al-Quran telah menampilkan anggunnya akhlak malu yang dimiliki oleh dua puteri Nabi Syu‘aib q. Keduanya keluar dari rumah yang mulia, penuh dengan sifat ‘iffah, kesucian, penjagaan, dan tarbiyah yang baik. Allah Ta‘ala berfirman, “Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan malu-malu, ia berkata, ‘Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami’…” (Al-Qashash [28] : 25)
Putri Nabi Syu‘aib itu berjalan dengan malu-malu, karena harus berbicara dengan lelaki yang bukan mahram. Malunya seorang anak perempuan yang mulia yang merupakan buah dari tarbiyah yang baik. ‘Umar bin Khaththab a berkata, “Dia bukan wanita yang tak tahu malu yang sering keluar rumah. Dia datang dengan menutup seluruh tubuhnya. Ujung pakaiannya digunakannya untuk menutupi wajahnya karena malu.”
Ummul Mukminin ‘Aisyah a pernah bertutur, “Setelah Rasulullah n dan ayahku (Abu Bakar a) dikuburkan, aku masuk ke dalam rumah tempat keduanya dikubur dengan melepaskan kain hijabku. Kukatakan, ‘Bahwasanya ini adalah suamiku dan ayahku.’ Namun, setelah ‘Umar a dikuburkan, demi Allah, aku tidak pernah masuk ke sana kecuali dengan memakai pakaian lengkap (dengan hijab), karena malu kepada ‘Umar a.”
Subhanallah. Jika terhadap orang yang sudah berada di perut bumi saja ‘Aisyah merasa malu jika tidak berhijab, lalu bagaimana rasa malu ‘Aisyah jika berhadapan dengan orang-orang yang berada di punggung bumi? Sungguh, keadaan wanita zaman ini berkebalikan seratus delapan puluh derajat dengan komitmen ‘Aisyah saat itu! Terhadap orang-orang di punggung bumi yang masih hidup, mereka beratraksi heboh buka-bukaan aurat dan ogah berjilbab, akankah terbersit rasa malu dalam hati mereka kepada orang-orang yang telah dikubur di perut bumi?
Sungguh, para wanita pengumbar aurat yang kini bertebaran di mana-mana, patut disadarkan jiwanya. Jangan-jangan dia selama ini telah turut andil besar mensupport terjadinya berbagai aksi ‘kejahatan syahwat’ yang kini makin nggegirisi terpampang sepanjang hari. Pemerkosaan, prostitusi, incest, video mesum, selingkuh…! Pamer aurat yang mereka banggakan selama ini telah ‘sukses’ membenamkan banyak orang ke dalam dengusan syahwat! Dan, mereka pun jauh-jauh hari telah sukses membantai rasa malu yang seharusnya menghiasi hati para wanita suci. Matinya rasa malu akan disusul dengan sekarat iman yang sungguh mengerikan. Tatkala iman telah ‘sekarat’, jiwa pun akan selalu mendorong untuk berbuat semaunya, termasuk berakrab-akrab dengan syahwat!! Na’udzubillah.
Wanita Beriman, Wanita Pemalu
Wahb bin Munabbih bertutur, “Iman itu telanjang, pakaiannya takwa, perhiasannya malu, dan hartanya adalah ‘iffah (menjaga kehormatan).” Maka, wanita beriman adalah wanita anggun-memesona yang selalu berhiaskan takwa, rasa malu dan ‘iffah dalam hidupnya. (Muhammad Albani)
http://akhialbani.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar