Kutitip Surat Ini Untukmu
22.20
WI Pulau Buru
No comments
Ditulis Ulang dari Buku : Kututip Surat Ini Untukmu, karya Ustadz Armen Halim Naro Rohimahulloh
Jika suatu ucapan dari lisan diterima oleh telinga, maka demikian pula ucapan hati akan diterima oleh hati. Tulisan ini adalah surat seorang ibu untuk anaknya, yang ditulis karena cinta dan di dorong oleh rasa kasih sayang. Yang menuliskan suratnya dengan air mata dan hatinya.
.:
Untuk Anakku yang kusayangi,
segala puji ibu panjatkan kepada Alloh Ta'ala yang telah memudahkan untuk beribadah kepadaNya,
sholawat serta salam ibu sampaikan kepada Nabi Muhammad Sholallohu 'alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
Wahai Anakku, surat ini datang dari ibumu yang selalu dirundung sengsara. Setelah berfikir panjang ibu memutuskan untuk menulis dan menggoreskan pena, sekalipun rasa ragu dan malu menyelimuti diriku. Setiap kali menulis setiap itu pula gores tulisan terhalang oleh tangis. Setiap kutitikkan air mata setiap itu pula hati ini terluka.
Wahai Anakku, Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah tumbuh menjadi cerdas dan dewasa, karenanya engkau pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engakau akan remas kertas ini dan akan engkau robek-robek, sebagaimana sebelumnya engkau telah meremas-remas hati ibu dan merobek-robek perasaan ibu.
Wahai Anakku, 25 tahun telah berlalu. Dan tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan dalam kehidupanku. Suatu datang dokter datang menyampaikan tentang kehamilan dan semua ibu sangat mengetahui arti dari kalimat itu. Bercampur rasa bahagia dan gembira dalam hatiku. Sebagaimana pula ia adalah awal dari perubahan fisik dan emosi ibu.
Semenjak kabar gembira itu 9 bulan ibu membawamu, tidur, berdiri, makan dan bernapas dalam kesulitan, akan tetapi itu semua tidak mengurangi rasa cinta dan kasih sayang ibu kepadamu. Bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.
Aku mengandungmu wahai anakku dalam kondisi lemah diatas lemah. Bersamaan dengan itu aku begitu gembira karena merasakan dan melihat terjangan kakimu dan balikan badanmu diperutku. Penderitaan berkepanjangan menderaku, sampailah pada fajar yang malamnya aku tidak bisa tidur sekejappun, aku merasakan sakit yang tak tertahankan dan rasa takut yang tidak bisa dilukiskan.
Rasa sakit itu berlanjut hingga membuatku tidak dapat menangis, sebanyak itu pula aku melihat kematian dihadapanku. Hingga tiba waktunya engkau keluar ke dunia, engkau lahir. Bercampur air mata kebahagiaanku dengan air mata tangismu, dan seketika itu pula sirna keletihan dan kepedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku kepadamu semakin bertambah dengan bertambah kuatnya sakit. Aku raih dirimu sebelum aku meraih minuman, aku peluk dan cium dirimu sebelum meneguk setetes air.
Wahai Anakku, telah berlalu tahun dari usiamu, aku membawamu dengan kekuatanku membawamu dengan tangan kasih sayangku. Sari pati hidupku kuberikan kepadamu, aku tidak tidur demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu, harapanku pada setiap harinya agar aku selalu melihat senyumanmu, kebahagiaanku setiap saat adalah permintaanmu agar aku bebuat sesuatu untukmu. itulah kebahagiaanku.
…
Kemudian berlalulah waktu, hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Selama itu pula aku setia menjadi pelayanmu yang tak pernah lalai, menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti, menjadi pekerjamu yang tidak pernah lelah. Mendo’akan selalu kebaikan untukmu. Aku selalu memperhatikan dirimu hari demi hari hingga engkau menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang telah menghiasi wajahmu dan menambah ketampanammu wahai anakku.
Tatkala itu aku mulai melirik kekiri dan kekanan untuk mencari pasangan hidupmu. Semakin dekat hari perkawinanmu semakin dekat pula hari kepergianmu. Tatkala itu hatiku seraya teriris-iris, air mataku mengalir entah apa rasanya hati ini, bahagia telah bercampur dengan duka, tangis telah bercampur pula dengan tawa. Bahagia rasanya engkau telah mendapatkan pasangan, karena engkau telah mendapatkan jodoh, telah mendapat pendamping hidup. Sedangkan sedih karena engkau adalah pelipur hatiku yang akan berpisah sebentar lagi dengan diriku.
Waktu pun berlalu seakan-akan aku menyeretnya dengan berat, kiranya setelah perkawinan itu aku tidak lagi mengenal dirimu,
senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihanku, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam,
tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu sekarang telah tenggelam seperti batu yang dijatuhkan kedalam kolam yang hening dengan dedaunan yang berguguran,
aku benar-benar tidak mengenalmu lagi. Karena engkau telah melupakan aku dan melupakan hakku.
Terasa lama hari-hari yang kulewati, hanya untuk ingin melihat wajahmu, detik demi detik kuhitung demi mendengar suaramu, akan tetapi penantianku seakan sangat panjang, aku selalu berdiri dipintu hanya untuk melihat dan menanti kedatanganmu, setiap kali berderak pintu aku menyangka bahawa engkaulah orang yang datang itu, setiap kali telepon berdering, aku merasa bahwa engkau yang akan meneleponku. Setiap suara kendaraan yang melintas, aku merasa bahwa engkaulah yang datang. Akan tetapi semua tidak ada. Penantianku sia-sia dan harapanku hancur berkeping-keping, yang ada hanya keputus-asaan yang tersisa hanya kesedihan dari semua keletihan yang selama ini kurasakan. Sambil menangisi diri dan nasib yang memang telah ditakdirkan oleh Alloh.
Anakku …
Ibumu tidaklah meminta banyak, ia tidaklah menagih kepadamu yang bukan-bukan, yang ibu pinta kepadamu jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu, jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu dirumahmu. Agar ibu kembali dapat menatap wajahmu, agar ibu dapat kembali mengenang masa-masa kecilmu. Dan ibu memohon kepadamu, janganlah engkau pasang jerat permusuhan denganku. Janganlah engkau buang wajahmu ketika ibumu hendak memandangnya.
Yang ibu tagih kepadamu, jadikanlah rumah ibumu salah satu tempat persinggahanmu, agar engkau dapat sekali-kali singgah kesana sekalipun hanya satu detik. Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi atau sekiranya terpaksa engkau datang sambil kau tutup hidungmu sambil berlalu pergi.
Anakku …
Telah bungkuk pula punggungku, bergemetar kaki dan tanganku, karena badanku telah dimakan oleh usia, dan telah digerogoti oleh penyakit, berdirinya pun seharusnya telah dipapah, dudukpun harus dibopong,
akan tetapi yang tidak pernah sirna anakku … adalah cintaku kepadamu masih seperti dulu,
masih seperti lautan yang tidak pernah kering,
masih seperti angin yang tidak pernah berhenti bertiup,
sekiranya engkau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya engkau akan balas kebaikan dengan kebaikan. Sedangkan Ibumu mana balas budimu, mana balasan baikmu, bukankah seharusnya air susu dibalas dengan air yang serupa, dan bukankah Alloh Ta’ala telah berfirman :
“Bukanlah balasan kebaikan itu kecuali dengan kebaikan yang serupa”
Sampai begitukah keras hatimu dan sudah begitu jauhkah dirimu, setelah berlalunya hari dan berselangnya waktu.
Wahai Anakku …
Setiap aku mendengar bahwa engkau bahagia dalam hidupmu, setiap itu pula bertambah kebahagiaanku.
Bagaimana tidak ?
Karena engkaulah buah dari kedua tanganku.
Engkau adalah hasil dari keletihanku,
Engkaulah laba dari semua usahaku.
Dosa apakah yang telah kuperbuat, sehingga engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu. Apakah aku pernah bersalah pada hari saat bergaul denganmu? Atau pernahkah aku berbuat lalai disaat melayanimu.
Tidak dapatkah engkau menjadikanku pembantu yang paling hina dari sekian banyak pembantu dirumahmu, yang mereka semua telah engkau beri upah?
Tidak dapatkah engkau memberikan sedikit perlindungan kepadaku dibawah naungan kebasaranmu. Dapatkah engkau sekarang menganugerahkan sedikit kasih sayang, demi mengobati derita orang tua yang malang ini. Dan Alloh Ta’ala menyukai orang-orang yang berbuat baik.
Wahai Anakku ..
Aku hanya ingin melihat wajahmu. Aku tidak menginginkan yang lainnya.
Wahai Anakku …
Hatiku serasa teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau sehat wal afiat, orang-orang sering mengatakan bahwa engkau adalah laki-laki yang supel, dermawan dan berbudi.
Anakku …
Apakah hatimu tidak tersentuh, terhadap seorang wanita tua yang lemah, binasa dimakan oleh rindu, berselimutkan kesedihan dan berpakaian kedukaan? berselimutkan kesedihan dan berpakaian kedukaan?
Kenapa ? tahukah engkau itu?
Karena engkau telah berhasil mengalirkan air matanya,
karena engkau telah membalasnya dengan luka dihatinya,
karena engkau telah pandai menikam dirinya dengan belati durhakamu,
tepat menghujam jantungnya,
karena engkau telah berhasil pula memutuskan tali silaturahmi.
Wahai Anakku …
Ibumu inilah sebenarnya pintu surgamu. Maka titilah jembatan itu menujunya, lewatilah jembatan itu dengan senyuman yang manis, kemaafan dan balas budi yang baik, semoga aku bertemu denganmu disana dengan kasih sayang Alloh Ta’ala, sebagaimana dalam sebuah hadist disebutkan :
“Orang tua adalah pintu surga yang ditengah, sekiranya engkau mau, maka sia-siakanlah ia atau jagalah.” (H.R Ahmad)
Anakku …
Aku mengenalmu sejak dahulu, semenjak engkau telah beranjak dewasa, bahwa engkau sangat tamak dengan PAHALA, engkau selalu bercerita tentang keutamaan berjamaah, engkau selalu bercerita kepadaku tentang keutamaan Shof pertama, engkau selalu mengungkapkan tentang infaq dan sedekah, akan tetapi satu hadist yang engkau lupakan nak, Nabi Sholallohu’alaihi wa sallam menyampaikan bahwa berbakti kepada orang tua adalah amalan yang paling utama. Ini aku anakku, ibumu, pahalamu, tanpa engkau harus memerdekakan budak atau banyak-banyak berinfak.
Anakku pernahkah engkau mendengar cerita.?
.:: Seorang yang telah meninggalkan keluarganya dan anak-anaknya ke negeri yang jauh untuk mencari tambang emas? Pernahkah engkau mendengar cerita itu? Seorang suami yang meninggalkan istri dan anak-anaknya ke negeri antah-berantah untuk mencari emas untuk menghidupi keluarganya, dia salami satu per satu, dia ciumi istrinya dia sayangi anak-anaknya.
Kemudian dia mengatakan : “Ayahmu, ayah kalian akan pergi ke negeri yang ayah sendiri tidak tahu, Ayah akan mencari emas, rumah kita yang reyot ini jagalah! ibu kalian yang tua renta ini jagalah!”, Lalu berangkatlah dia.
Suami yang berharap untuk pergi jauh agar mendapatkan emas, untuk membesarkan anak-anaknya, untuk membangun istana dari gubuk yang reyot. Akan tetapi apa yang terjadi? Setelah 30th dalam perantauan, yang ia bawa hanya tangan hampa dan kegagalan, dia gagal dalam usahanya.
Pulanglah ia kembali ke kampung halamannya, sampailah ia ketempat dusun yang selama ini ia tinggalkan. Setibanya dilokasi rumahnya, matanya terbelalak, ia melihat tidak ada lagi gubuk reyot yang ditempati anak-anak dan istrinya, akan tetapi ia telah melihat perusahaan besar tambang emas.
::.
Jadi ia mencari emas jauh ke negeri orang, kiranya orang mencari emas dekat ditempat ia tinggal. Demikianlah perumpamaanmu dengan kebaikanmu.
Engkau berletih mencari pahala, engkau telah beramal banyak, tetapi engkau telah lupa bahwa di dekatmu ada pahala yang lebih besar, disampingmu ada orang yang dapat menghalangi atau mempercepat amalmu. Di dekatmu ada ibu yang dapat menghalangimu untuk masuk ke dalam surga. Bukankah keridhoanku adalah keridhoaan Alloh? Dan bukankah kemurkaanku adalah kemurkaan Alloh juga wahai anakku?
Anakku …
Aku takutkan engkau, engkaulah yang dimaksudkan Nabi Muhammad Sholallohu ‘alaihi wa sallam di dalam hadistnya :
“celaka seseorang, celaka seseorang, celaka seseorang. Siapa itu ya Rasululloh ?, Dia adalah orang yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya dalam usia tua, akan tetapi kemudian dia tidak masuk surga.”
(HR. Muslim)
Anakku …
Aku tidak akan mengangkat keluhan ini ke langit, aku tidak akan adukan duka ini kepada Alloh, karena sekiranya keluhan ini jika seandainya telah membumbung menembus awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpalah kebinasaan dan kesengsaraan, dan tidak ada obatnya dan tidak ada pula tabib yang dapat menyembuhkannya.
Aku tidak akan melakukannya wahai anakku, tidak. Bagaimana aku akan melakukannya sedangkan engkau adalah jantung hatiku. Bagaimana ibumu ini sanggup menengadahkan tangan ke langit sedangkan engkau pelipur lara hatiku, bagaimana ibu tega melihatmu merana terkena doa mustajab, padahal engkau adalah kebahagiaan hidupku.
Bangunlah nak, bangunlah!
Bangkitlah nak, akan berlalu masa sehingga engkau akan menjadi tua pula.
Aljazau min jinzil amal
sebagaimana engkau berbuat, sebegitu pula orang akan berbuat kepadamu,
ganjaran sesuai dengan amal yang telah engkau tanamkan,
engkau akan memetik sesuai apa yang engkau tanam.
Aku tidak ingin engkau menulis surat seperti ini, Aku tidak ingin engkau menulis surat yang sama dengan air mata kepada anak-anakmu kelak, sebagaimana aku telah menulisnya kepadamu anakku.
Wahai anakku …
Bertaqwalah kepada Alloh, berbaktilah kepada ibumu, peganglah kakinya, basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya, kencangkan tulang ringkihnya, dan kokohkan badannya yang telah lapuk.
Anakku …
Setelah engkau membaca surat ini, terserah kepadamu apakah engkau sadar, engkau akan kembali atau engkau akan merobeknya.
Sholallohu ala Nabiyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa sohbihi wa sallam.
Dari ibumu yang merana.
Ditulis Ulang dari
Buku : Kutitip Surat Ini Untukmu,
Karya : Ustadz Armen Halim Naro Rahimahulloh
0 komentar:
Posting Komentar