Mendaki Pelaminan
19.36
WI Pulau Buru
No comments
Alangkah menawan siluet gunung dari jarak jauh. Tak jemu hati ini ditawan keelokan raganya. Semakin dia dipandang, semakin dia menggoda. Kian dilihat, kian kuat pula daya pikatnya.
Keindahan ayat ilahi ini tak lekang diterpa zaman. Selalu setia memanjakan mata tiap insan yang meliriknya. Awan putih tebal mengalung di lehernya, menyisakan pemandangan kerucut puncak nan mempesona, seolah dia baru saja berhasil menaklukan langit yang sejak lama menantangnya. Sinar mentari pagi, makin memperjelas lekukan vertikal bagian timur lerengnya. Semua itu dipadu dengan balutan lembut selimut hijau di sekujur tubuhnya. Menciptakan sihir alami yang tak ada tandingannya dan menyulut rasa penasaran akan rahasia dibalik kecantikannya. Begitu cantik dan elok. Ingin rasanya hati ini untuk dapat memeluknya.
Dari jarak jauh orang-orang mulai membangun seribu bayangan akan kenikmatan mendaki sang pasak bumi. Beribu kisah seputar pendakianpun bergulir seraya dihiasi dengan ornamen kewibawaan, keperkasaan, dan kejantanan. Janji-janji manis tentang keajaiban alam sepanjang jalan, keelokan vegetasi di kiri dan kanan, keindahan tiada tara sunrise view saat pagi menjelang, di tambah lirik nasyid anak TK “naik-naik ke puncak gunung”, memprovokasi khalayak ramai untuk memasukan mount climbing kedalam daftar misi indah hidup mereka.
Namun sayang, tidak semua unggas tahu cara terbang, begitu pula tidak semua orang memahami hakikat pendakian. Setiap orang ingin pergi mendaki gunung, namun hanya sedikit yang sudah belajar teori mendaki. Semuanya ingin berkemas, namun tidak semua tahu apa yang harus dikemas. Bahkan sebagian orang ada yang lebih parah dari itu, jangankan tahu bagaimana cara mendaki gunung, alasan kenapa mereka mendakipun tidak tahu. Ada juga yang bukan sekedar tidak tahu cara mendaki, tapi juga tidak mau tahu, dan lebih suka kalau mereka tidak tahu dari pada tahu, ini yang dinamakan dengan kebodohan superlatif.
Mayoritas mereka berpikir bahwa mendaki gunung semudah memetik mangga, dan senikmat meminum air kelapa. Mereka melihat kalau mendaki gunung tidak lebih dari menapaki langkah demi langkah jalan miring mendaki sambil ha.. ha.. hi.. hi.. hi.. Angan-angan ini memberi mereka janji bahwa sepanjang jalan mereka hanya akan menemui kecerian, kesenangan, dan suka cita, persis seperti yang ada dalam lirik “naik-naik ke puncak gunung”.
Ada juga yang berpikir seperti mie, serba instan. Dia kira semua problem pendakian dapat diatasi dengan memperbanyak bekal. “Kalau lelah berjalan ya kita sewa orang untuk menggendong, kalau pegal ya kita bayar orang untuk memijit, kalau kita kepanasan ya kita suruh orang untuk mengipasi”. Oleh karena itu, mereka membawa tas ransel besar dan mengisinya dengan bermacam perbekalan sebanyak-banyaknya, mulai dari uang, roti, sirup, bahkan popcorn.
Alhasil, dengan berbagai kondisi itu setiap orang bersiap untuk mendekat. Perlahan tapi pasti, roda kendaraan mulai melipat meter demi meter jarak pemisah antara mereka dengan sang gunung. Sedikit demi sedikit, siluet segitiga itu mulai menampakkan sosok aslinya.
Tiba saatnya waktu pendakian. Langkah demi langkah menajak mulai diayun, beragam perasaan serta merta menjamur dalam sanubari, diringi beribu tanda tanya menyesaki suasana hati. Ternyata sang gunung begutu kokoh dan tinggi. Pemandangan tebing dan bebatuan curam mulai menggoyahkan semangat.
Kemana gerangan pesona sang gunung yang dari jauh begitu memikat? Mengapa serta merta lenyap dan berganti dengan suasana yang kontras? Semak belukar dimana-mana, kesunyian hutan yang memendam segudang tanda tanya, suara-suara misterius makhluk-makhluk rimba.
Suka ria diawal pendakian perlahan berubah menjadi kemurungan. Tawa kecil yang menemani sejak titik start tadi sedikit demi sedikit terkikis oleh rasa lelah. Langkah demi langkah semakin menambah keterasingan mereka di alam ini.
Semakin jauh memasuki hutan, semakin beragam pula makhuk yang menyambut mereka. Semak berduri, jamur beracun, ular besar, ular kecil, kalajengking, kera liar, babi hutan, dan terkadang harimau juga tak mau ketinggalan. Sekarang meraka baru sadar, ternyata lirik “naik-naik ke puncak gunung” hanya bualan belaka.
Dalam kondisi ini, orang-orang yang mendaki dengan berbekal angan-angan kosong akan segera masuk zona degradasi. Stres, uring-uringan, cek-cok sesama teman, rasa individualisme yang memuncak, dan egoisme yang tak terkendali mengubah suasana perjalanan menjadi kian menyiksa.
Tidak ada orang yang mau dibayar untuk menggendong di saat seperti ini, tidak ada pula yang mau disewa untuk memijit, juga tidak satupun yang ingin mengipasi dengan imbalan apapun.
Sampai tiba saatnya dimana kesabaran telah kering, stamina sudah punah dan perjalanan berubah menjadi siksaan, mereka berguguran satu persatu. Ada yang memutuskan untuk turun gunung, ada yang tidak kuat dan berhenti dijalan, ada stres sampai gila karena tak mampu menahan tekanan mental, ada yang pasrah dengan nasibnya, ada yang memutuskan untuk pergi walaupun tak tahu jalan hingga akhirnya tersesat, dan beragam sikap sejenisnya yang dilakukan manusia saat putus asa.
Yang tersisa hanya mereka yang telah menyiapkan diri dengan benar dan mengetahui hakikat mendaki gunung. Mereka tidak hanya tahu bagaimana cara mendaki, namun juga tahu bagaimana cara menikmati pendakian. Hanya mereka yang bisa merasakan manisnya perjalanan mendaki gunung. Hingga akhirnya mencampai puncak dan menikmati sunrise view sambil menghirup udara segar ditemani segelas mocachino.
Itu bukan berarti selama perjalanan mereka tidak merasakan lelah, letih, dan penat. Sama seperti yang lain, mereka mengalami kelelahan, kepayahan, dan keletihan. Hanya saja dengan bekal ilmu mendaki yang mereka pelajari, mereka tahu bagaimana me-manage diri serta mencari solusi ketika menghadapi kendala selama perjalanan.
Begitulah kira-kira misteri sebuah gunung. Indah dari kejauhan, namun tidak semua orang sukses dalam perjalanan. Persis halnya dengan menikah.
Layaknya mendaki gunung tadi, sebuah pernikahan merupakan perjalanan panjang seumur hidup. Dari kejauhan orang-orang memandang sebuah pernikahan layaknya sang gunung. Indah, penuh pesona, dan menggoda tiap insan bernyawa untuk menapakinya. Betapa bahagianya apabila rasa cinta dan kasih menghiasi hari-hari hidup ini.
Kalimat romantis, rayuan indah, kata-kata semanis madu, sanjungan sang kekasih, serta bermacam bumbu-bumbu asmara sejenisnya membuat hidup sangat indah dan begitu bermakna. Kurang lebih seperti itulah image tentang esensi sebuah pernikahan yang disajikan oleh novel-novel roman, film-film cinta, dan telenovela kepada khalayak ramai.
Berdasakan resensi diatas, mereka membangun mimpi indah berrumah tangga. Bagaikan sihir alami sang gunung, pernikahan memiliki daya tarik yang begitu dasyat. Setiap orang mendambakannya. Dan setiap orang bersiap-siap untuk menyongsongnya. Namun, lagi-lagi kasus para pendaki gunung tadi terulang. Tidak semua orang mengerti bagaimana menyiapkan diri. Tidak semuanya tahu bekal apa yang wajib dipenuhi.
Ada yang dengan sangat detail mempersiapkan keindahan raga, kekuatan fisik dan stamina. Itu karana dia memandang pernikahan tidak lebih dari hubungan badan antara dua insan. Ada juga yang berpikir serba instan seperti pendaki gunung tadi. Dengan segenap keyakinan mantap dia mengusung aqidah “ada fulus urusan mulus”. Ada juga yang lebih mengenaskan, jangankan memahami hakikat pernikahan, alasan dia menikahpun juga tidak jelas. Ada juga yang dengan bangga menerapkan kebodohan superlatif sebagaimana pendaki gunung tadi.
Alhasil, dengan beragam persiapan mereka memberanikan diri untuk berangkat ke “dermaga cinta” yang akan menjadi titik tolak “bahtera pernikahan” dan mulai mengarungi babak baru perjalanan hidup. Waktu terus bergulir. Sehari, dua hari, seminggu, dua minggu, suasana hidup masih mirip dengan cerita-cerita cinta yang begitu gencar diiklankan oleh film-film romansa.
Sampai datang saatnya, segudang masalah rumah tangga perlahan-lahan mulai mengikis senyum dan tawa. Saat kata-kata romantis tak lebih bernilai dari ceramah manis tukang obat kaki lima. Saat rayuan-rayuan romantis terasa hambar oleh peliknya problema. Saat stamina hidup bersangsur-angsur kering dan gejolak hari-hari telah menghisap tetes terakhir kesabaran hati.
Saat itu, orang-orang yang mengarungi bahtera pernikahan berbekal mimpi-mimpi indah telenovela akan segera goyah, terombang-ambing ombak kegalauan, hingga akhirnya karam dan tenggelam. Mereka yang tidak membekali diri dengan ilmu tentang pernikahan akan berakhir seperti para pendaki gunung yang berguguran ditengah jalan. Cerai, frustasi, stres berat, gila, bunuh diri, kekerasan, perselingkuhan, lari dari tanggung jawab, dan bencana hidup semacamnya akan menjadikan mereka serasa mengalami sakaratul maut dua kali dalam hidup. Mati sebelum mati.
Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa langgeng menikmati manisnya pernikahan, yaitu orang-orang mau belajar dan mempraktekan seni berumah tangga. Bukan berarti mereka tidak menghadapi problema sepanjang perjalnan, bahkan justru sebaliknya mungkin konflik hidup mereka lebih panas dari apa yang dihadapi oleh mereka yang berguguran. Namun, seperti success story para pendaki gunung tadi, dengan bekal ilmu yang mereka pelajari, mereka mampu me-manage diri dan menemukan solusi.
Semua orang pasti sama-sama menghadapi konflik rumah tangga apapun bentuknya. Yang membedakan adalah seberapa pintar seseorang menjinakan konflik dan merubahnya menjadi bumbu pemanis hidup.
Akhirnya, sebagaimana kata Imam Bukhori, “babul ‘ilmi qoblal qouli wal ‘amal”, yang artinya, “bab: ilmu sebelum berbicara dan bertindak”. Maksud beliau adalah tidak boleh seseorang berbicara dan bertindak sebelum mengetahui esensi yang akan ia katakan atau lakukan itu. Wallahu a’lam.
Selamat mendaki pelaminan...
Mengenang siluet Gede-Pangrango, Sukabumi.Alangkah menawan siluet gunung dari jarak jauh. Tak jemu hati ini ditawan keelokan raganya. Semakin dia dipandang, semakin dia menggoda. Kian dilihat, kian kuat pula daya pikatnya.
Keindahan ayat ilahi ini tak lekang diterpa zaman. Selalu setia memanjakan mata tiap insan yang meliriknya. Awan putih tebal mengalung di lehernya, menyisakan
pemandangan kerucut puncak nan mempesona, seolah dia baru saja berhasil menaklukan langit yang sejak lama menantangnya. Sinar mentari pagi, makin memperjelas lekukan vertikal bagian timur lerengnya. Semua itu dipadu dengan balutan lembut selimut hijau di sekujur tubuhnya. Menciptakan sihir alami yang tak ada tandingannya dan menyulut rasa penasaran akan rahasia dibalik kecantikannya. Begitu cantik dan elok. Ingin rasanya hati ini untuk dapat memeluknya.
Dari jarak jauh orang-orang mulai membangun seribu bayangan akan kenikmatan mendaki sang pasak bumi. Beribu kisah seputar pendakianpun bergulir seraya dihiasi dengan ornamen kewibawaan, keperkasaan, dan kejantanan. Janji-janji manis tentang keajaiban alam sepanjang jalan, keelokan vegetasi di kiri dan kanan, keindahan tiada tara sunrise view saat pagi menjelang, di tambah lirik nasyid anak TK “naik-naik ke puncak gunung”, memprovokasi khalayak ramai untuk memasukan mount climbing kedalam daftar misi indah hidup mereka.
Namun sayang, tidak semua unggas tahu cara terbang, begitu pula tidak semua orang memahami hakikat pendakian. Setiap orang ingin pergi mendaki gunung, namun hanya sedikit yang sudah belajar teori mendaki. Semuanya ingin berkemas, namun tidak semua tahu apa yang harus dikemas. Bahkan sebagian orang ada yang lebih parah dari itu, jangankan tahu bagaimana cara mendaki gunung, alasan kenapa mereka mendakipun tidak tahu. Ada juga yang bukan sekedar tidak tahu cara mendaki, tapi juga tidak mau tahu, dan lebih suka kalau mereka tidak tahu dari pada tahu, ini yang dinamakan dengan kebodohan superlatif.
Mayoritas mereka berpikir bahwa mendaki gunung semudah memetik mangga, dan senikmat meminum air kelapa. Mereka melihat kalau mendaki gunung tidak lebih dari menapaki langkah demi langkah jalan miring mendaki sambil ha.. ha.. hi.. hi.. hi.. Angan-angan ini memberi mereka janji bahwa sepanjang jalan mereka hanya akan menemui kecerian, kesenangan, dan suka cita, persis seperti yang ada dalam lirik “naik-naik ke puncak gunung”.
Ada juga yang berpikir seperti mie, serba instan. Dia kira semua problem pendakian dapat diatasi dengan memperbanyak bekal. “Kalau lelah berjalan ya kita sewa orang untuk menggendong, kalau pegal ya kita bayar orang untuk memijit, kalau kita kepanasan ya kita suruh orang untuk mengipasi”. Oleh karena itu, mereka membawa tas ransel besar dan mengisinya dengan bermacam perbekalan sebanyak-banyaknya, mulai dari uang, roti, sirup, bahkan popcorn.
Alhasil, dengan berbagai kondisi itu setiap orang bersiap untuk mendekat. Perlahan tapi pasti, roda kendaraan mulai melipat meter demi meter jarak pemisah antara mereka dengan sang gunung. Sedikit demi sedikit, siluet segitiga itu mulai menampakkan sosok aslinya.
Tiba saatnya waktu pendakian. Langkah demi langkah menajak mulai diayun, beragam perasaan serta merta menjamur dalam sanubari, diringi beribu tanda tanya menyesaki suasana hati. Ternyata sang gunung begutu kokoh dan tinggi. Pemandangan tebing dan bebatuan curam mulai menggoyahkan semangat.
Kemana gerangan pesona sang gunung yang dari jauh begitu memikat? Mengapa serta merta lenyap dan berganti dengan suasana yang kontras? Semak belukar dimana-mana, kesunyian hutan yang memendam segudang tanda tanya, suara-suara misterius makhluk-makhluk rimba.
Suka ria diawal pendakian perlahan berubah menjadi kemurungan. Tawa kecil yang menemani sejak titik start tadi sedikit demi sedikit terkikis oleh rasa lelah. Langkah demi langkah semakin menambah keterasingan mereka di alam ini.
Semakin jauh memasuki hutan, semakin beragam pula makhuk yang menyambut mereka. Semak berduri, jamur beracun, ular besar, ular kecil, kalajengking, kera liar, babi hutan, dan terkadang harimau juga tak mau ketinggalan. Sekarang meraka baru sadar, ternyata lirik “naik-naik ke puncak gunung” hanya bualan belaka.
Dalam kondisi ini, orang-orang yang mendaki dengan berbekal angan-angan kosong akan segera masuk zona degradasi. Stres, uring-uringan, cek-cok sesama teman, rasa individualisme yang memuncak, dan egoisme yang tak terkendali mengubah suasana perjalanan menjadi kian menyiksa.
Tidak ada orang yang mau dibayar untuk menggendong di saat seperti ini, tidak ada pula yang mau disewa untuk memijit, juga tidak satupun yang ingin mengipasi dengan imbalan apapun.
Sampai tiba saatnya dimana kesabaran telah kering, stamina sudah punah dan perjalanan berubah menjadi siksaan, mereka berguguran satu persatu. Ada yang memutuskan untuk turun gunung, ada yang tidak kuat dan berhenti dijalan, ada stres sampai gila karena tak mampu menahan tekanan mental, ada yang pasrah dengan nasibnya, ada yang memutuskan untuk pergi walaupun tak tahu jalan hingga akhirnya tersesat, dan beragam sikap sejenisnya yang dilakukan manusia saat putus asa.
Yang tersisa hanya mereka yang telah menyiapkan diri dengan benar dan mengetahui hakikat mendaki gunung. Mereka tidak hanya tahu bagaimana cara mendaki, namun juga tahu bagaimana cara menikmati pendakian. Hanya mereka yang bisa merasakan manisnya perjalanan mendaki gunung. Hingga akhirnya mencampai puncak dan menikmati sunrise view sambil menghirup udara segar ditemani segelas mocachino.
Itu bukan berarti selama perjalanan mereka tidak merasakan lelah, letih, dan penat. Sama seperti yang lain, mereka mengalami kelelahan, kepayahan, dan keletihan. Hanya saja dengan bekal ilmu mendaki yang mereka pelajari, mereka tahu bagaimana me-manage diri serta mencari solusi ketika menghadapi kendala selama perjalanan.
Begitulah kira-kira misteri sebuah gunung. Indah dari kejauhan, namun tidak semua orang sukses dalam perjalanan. Persis halnya dengan menikah.
Layaknya mendaki gunung tadi, sebuah pernikahan merupakan perjalanan panjang seumur hidup. Dari kejauhan orang-orang memandang sebuah pernikahan layaknya sang gunung. Indah, penuh pesona, dan menggoda tiap insan bernyawa untuk menapakinya. Betapa bahagianya apabila rasa cinta dan kasih menghiasi hari-hari hidup ini.
Kalimat romantis, rayuan indah, kata-kata semanis madu, sanjungan sang kekasih, serta bermacam bumbu-bumbu asmara sejenisnya membuat hidup sangat indah dan begitu bermakna. Kurang lebih seperti itulah image tentang esensi sebuah pernikahan yang disajikan oleh novel-novel roman, film-film cinta, dan telenovela kepada khalayak ramai.
Berdasakan resensi diatas, mereka membangun mimpi indah berrumah tangga. Bagaikan sihir alami sang gunung, pernikahan memiliki daya tarik yang begitu dasyat. Setiap orang mendambakannya. Dan setiap orang bersiap-siap untuk menyongsongnya. Namun, lagi-lagi kasus para pendaki gunung tadi terulang. Tidak semua orang mengerti bagaimana menyiapkan diri. Tidak semuanya tahu bekal apa yang wajib dipenuhi.
Ada yang dengan sangat detail mempersiapkan keindahan raga, kekuatan fisik dan stamina. Itu karana dia memandang pernikahan tidak lebih dari hubungan badan antara dua insan. Ada juga yang berpikir serba instan seperti pendaki gunung tadi. Dengan segenap keyakinan mantap dia mengusung aqidah “ada fulus urusan mulus”. Ada juga yang lebih mengenaskan, jangankan memahami hakikat pernikahan, alasan dia menikahpun juga tidak jelas. Ada juga yang dengan bangga menerapkan kebodohan superlatif sebagaimana pendaki gunung tadi.
Alhasil, dengan beragam persiapan mereka memberanikan diri untuk berangkat ke “dermaga cinta” yang akan menjadi titik tolak “bahtera pernikahan” dan mulai mengarungi babak baru perjalanan hidup. Waktu terus bergulir. Sehari, dua hari, seminggu, dua minggu, suasana hidup masih mirip dengan cerita-cerita cinta yang begitu gencar diiklankan oleh film-film romansa.
Sampai datang saatnya, segudang masalah rumah tangga perlahan-lahan mulai mengikis senyum dan tawa. Saat kata-kata romantis tak lebih bernilai dari ceramah manis tukang obat kaki lima. Saat rayuan-rayuan romantis terasa hambar oleh peliknya problema. Saat stamina hidup bersangsur-angsur kering dan gejolak hari-hari telah menghisap tetes terakhir kesabaran hati.
Saat itu, orang-orang yang mengarungi bahtera pernikahan berbekal mimpi-mimpi indah telenovela akan segera goyah, terombang-ambing ombak kegalauan, hingga akhirnya karam dan tenggelam. Mereka yang tidak membekali diri dengan ilmu tentang pernikahan akan berakhir seperti para pendaki gunung yang berguguran ditengah jalan. Cerai, frustasi, stres berat, gila, bunuh diri, kekerasan, perselingkuhan, lari dari tanggung jawab, dan bencana hidup semacamnya akan menjadikan mereka serasa mengalami sakaratul maut dua kali dalam hidup. Mati sebelum mati.
Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa langgeng menikmati manisnya pernikahan, yaitu orang-orang mau belajar dan mempraktekan seni berumah tangga. Bukan berarti mereka tidak menghadapi problema sepanjang perjalnan, bahkan justru sebaliknya mungkin konflik hidup mereka lebih panas dari apa yang dihadapi oleh mereka yang berguguran. Namun, seperti success story para pendaki gunung tadi, dengan bekal ilmu yang mereka pelajari, mereka mampu me-manage diri dan menemukan solusi.
Semua orang pasti sama-sama menghadapi konflik rumah tangga apapun bentuknya. Yang membedakan adalah seberapa pintar seseorang menjinakan konflik dan merubahnya menjadi bumbu pemanis hidup.
Akhirnya, sebagaimana kata Imam Bukhori, “babul ‘ilmi qoblal qouli wal ‘amal”, yang artinya, “bab: ilmu sebelum berbicara dan bertindak”. Maksud beliau adalah tidak boleh seseorang berbicara dan bertindak sebelum mengetahui esensi yang akan ia katakan atau lakukan itu. Wallahu a’lam.
Selamat mendaki pelaminan...
Mengenang siluet Gede-Pangrango, Sukabumi.
0 komentar:
Posting Komentar